Seri cuplikan dari buku:
*PRABOWO DAN KEBANGKITAN INDONESIA*
(Gerakan Kebangkitan Indonesia)
*PRABOWO:*
*JENDERAL PEMBELA ISLAM*
Oleh: HB. Maskati
Aktivis Gerakan Islam
Prabowo adalah Jenderal pembela Islam..?. Ngak salah kan, ini yang dimaksud adalah Prabowo Subianto, Sang Jenderal yang kini telah menjadi Presiden Republik Indonesia ke 8 itu…?
Bagi mereka yang tidak dekat dengan umat Islam pasti akan menyangkal pernyataan ini. Bahkan menganggapnya sebagai utopia, hayalan kosong tanda dasar.
Bagaimana mungkin seorang Prabowo yang mengaku abangan, lahir dari keluarga campuran non Islam, tumbuh berkembang dalam lingkungan sekuler serta mendapat pendidikan di Akademi Militer yang menekankan doktrin nasionalis murni. Kemudian dia berkarir penuh di dunia militer Indonesia yang pada saat itu dipimpin kelompok Jenderal Kristen yang dikenal anti Islam.
Namun fakta ini dapat ditelusuri ketika Prabowo muda yang tercerahkan mulai menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam sejak dirinya masih aktif di ABRI/TNI. Terutama kisah perseteruannya dengan Jenderal Benny Moerdani tercatat dalam banyak buku. Peristiwa inilah yang membawa pencerahan kepada Prabowo muda yang terpanggil untuk membela kepentingan umat Islam yang mayoritas.
Sebagaimana pemahaman mendasar Prabowo tentang paradoks dalam mahakaryanya Paradoks Indonesia, maka demikian pula halnya, umat Islam sedang mengalami paradoks masa itu. Umat Islam adalah mayoritas bangsa Indonesia seharusnya memegang peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun kenyataannya, secara tersistematis mereka sedang disingkirkan oleh kekuatan non-Islam, bahkan dijadikan sebagai ancaman dan musuh negara. Sangat ironis dan paradoks, itu fikir Prabowo muda saat itu.
Berbicara tentang Jenderal LB. Moerdani, tentu kita tidak bisa melepaskan kisah hidupnya dengan tokoh intelejen Katolik, anggota Freemason yang juga sekaligus agen CIA, yang dikenal dengan Pater Beek. Ya, tidak diragukan bahwa LB. Moerdani adalah produk kaderisasi tokoh kontroversial yang anti Islam ini. Beek dengan kelompok dan kadernya telah berhasil menanamkan doktrin anti Islam, bahkan menyamakan bahaya Islam dengan bahaya laten komunisme.
*Pater Beek dan Gerakan Anti Islam*
Untuk menjelaskan latar belakang Prabowo dan pembelaannya terhadap umat Islam yang mayoritas, kita perlu menjelaskan lebih dahulu kisah kontroversial Pater Beek dalam sejarah bangsa Indonesia. Karena dari gerakan Beek-lah nantinya hadir berbagai tokoh gerakan, termasuk tokoh paradoks yang menjadi antitesa gerakannya.
Pater Beek adalah salah satu agen Central Intelligence Agency (CIA) United States of America (USA) yang mendapat tugas menghancurkan Soekarno dan komunisme di Indonesia dalam tahun 1965-1966. Selain menjadi agen CIA, Pater Beek juga seorang agen Freemason, organisasi zionis Yahudi internasional yang diduga telah ada di Indonesia sejak tahun 1945. Sebagai agen ganda Pater Beek yang lahir di Belanda pada 12 Maret 1917 dengan nama Josephus Beek, memiliki dua misi sekaligus, yakni menghancurkan komunisme dan Islam.
Pater Beek pertama kali datang di Indonesia pada 1939 hingga 1941. Dia membawa misi dari Ordo Jesuit menyebarkan agama Kristen terutama di Jawa Tengah. Dia diketahui juga tekun mempelajari pola hidup masyarakat Jawa dan kepercayaan agamanya. Kajiannya terhadap agama Islam sangat luas dan mendalam. Penelitiannya berkesimpulan bahwa Islam yang menjadi bara perlawanan rakyat di Indonesia. Sebagai agen penjajah Belanda, dia merekomendasikan ke pusat Ordo Jesuit Belanda tidak ada cara lain yang bisa ditempuh selain melumpuhkan Islam.
Pada 1948, Pater Beek diangkat sebagai pastur dan menjadi pengikut garis keras Ordo Jesuit. Tahun 1956, dia kembali ke Indonesia. Dimana situasi politik dalam negeri sedang tidak menguntungkan pihak Barat. Dalam setiap pidatonya, Presiden Soekarno selalu mengecam sikap Barat yang tamak dan rakus. Soekarno juga tanpa ragu menunjukkan hubungan persahabatannya dengan negara-negara blok komunis.
Misi Pater Beek di Indonesia, selain menggulingkan Presiden Soekarno dan menghancurkan komunisme, juga menghancurkan gerakan agama Islam yang dia simpulkan sebagai bara perlawanan rakyat. Gerakannya dibantu oleh jaringan lamanya sesama pastur, seperti Pastur Melchers dan Pastur Djikstra. Pater Beek juga menjalin hubungan erat dengan para pemimpin Angkatan Darat (AD) anti komunis pada Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa DII/TII. Dalam dua peristiwa itu, tampak jelas sikap AD yang sangat anti dengan komunis, namun tidak mendukung Islam.
CSIS didirikan atas sponsor Pater Beek yang awalnya untuk melawan komunis namun setelah “Bahaya Merah”(komunis) teratasi, dia membuat analisa bahwa lawan Amerika Serikat berikutnya ada dua yaitu: “Hijau ABRI” dan “Hijau Islam”. Lalu menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh anak didiknya: Sofjan, Jusuf Wanandi, Harry Tjan, dan mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Soedjono Hoemardani (lihat: tulisan George Junus Aditjondro, mantan murid Pater Beek: CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan LB Moerdani).
Beek mengenal sosok Ali Murtopo dari PMKRI. Di mata Beek, Ali adalah sosok yang ambisius dan machiavelis, sosok yang dibutuhkannya. Apalagi karena Ali juga bukan seorang Muslim yang taat, meski berasal dari keluarga santri. Mengenai hubungan Ali Murtopo dengan Beek, Dr. George J. Aditjondro memberikan penjelasan: Banyak yang tak percaya kalau Ali Murtopo bisa menjadi orang yang sangat anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang Islam di awal Orde Baru, karena Ali Murtopo punya rencana berkuasa.
Musuh Ali Murtopo bukan cuma Islam, tapi juga perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti HR Dharsono, Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Soemitro (Pangkopkamtib). HR Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi dengan orang-orang PSI untuk menciptakan sistem politik baru untuk menyingkirkan Soeharto. Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi presiden. Sedang Sarwo Edhi difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang ke atas) Soeharto.
Salah seorang anak ideologis Beek yang paling fenomenal tentunya adalah LB. Moerdani. Seorang kader fanatik Katolik yang berhasil menduduki jabatan tertinggi di Militer. Sebagai kader Moertopo, Benny pernah diangkat menjadi wakilnya ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia dan terlibat pembentukan Centre for International Studies (CSIS). Lembaga think-tank yang sangat dekat dengan Orde Baru, didukung oleh para birokrat Kejawen dan pengusaha etnik Cina yang saat itu membangun gurita dalam lingkar elit kekuasaan Orde Baru.
Benny menyadari posisinya sebagai bagian dari kelompok minoritas di Indonesia. Itu membuatnya sulit untuk menggapai puncak kekuasaan di republik ini. Karena itu, dengan kelihaiannya ia berperan sebagai king maker, orang yang mempengaruhi pihak yang berkuasa. Kepada perwira kopassus di akhir tahun 1980-an Benny pernah berseloroh, “Buat apa jadi orang yang berkuasa, jika bisa dengan tanpa risiko kita mengontrol orang yang berkuasa.” Inilah yang menjadi doktrin para penerusnya di kemudian hari yang menciptakan rezim minoritas diatas rakyat mayoritas.
Di kalangan tentara Muslim, Benny Moerdani dikenal sangat tidak aspiratif terhadap kelompok Islam. Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Ka-BAKIN), Letjend TNI Z.A Maulani pernah mengatakan, pada masa Benny Moerdani menjadi panglima ABRI, sangat sulit mendapatkan masjid atau mushalla di komplek dan barak-barak militer.
Bahkan Benny pernah melontarkan pernyataan kontroversial yang melarang umat Islam mengucapkan salam. Dalam sebuah rapat kabinet bidang Polkam, Jaksa Agung Ali Said pernah dibentak oleh Benny karena mengucapkan “salam” dalam rapat tersebut. “Indonesia bukan negara Islam, tak perlu ucapkan salam,” bentaknya saat itu.
Saat Benny menjadi panglima ABRI, beberapa perwira non-muslim seperti Sintong Pandjaitan diangkat menjadi Komandan Jenderal (Danjen) pasukan elite Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Selain Sintong, perwira terkenal yang dianggap sebagai anak emas Benny Moerdani adalah Luhut Binsar Panjaitan.
Bukti keberhasilan Gerakan Pater Beek, menurut catatan Salim Said, berdasarkan penuturan Mayor Jenderal Syamsudin –perwira Kopassus– posisi asisten intelijen di berbagai Kodam saat Moerdani menjabat sebagai Panglima ABRI, kerap diisi orang-orang non-muslim. Seorang atase pertahanan Amerika Serikat di Jakarta merasa heran, soalnya 30 persen perwira intelijen Indonesia pada tahun 1987 diisi oleh orang-orang Katolik.
Pengalaman anti Islam ini juga terjadi di lingkungan Kopassus masa kepanglimaan Benny. Saat Benny menginspeksi ruang kerja bawahan dia melihat sajadah di kursi dan bertanya “Apa ini?,” jawab sang perwira, “Sajadah untuk shalat, Komandan.” Benny membentak “TNI tidak mengenal ini.” Benny juga sering rapat staf saat menjelang ibadah Jumat sehingga menyulitkan perwira yang mau sholat Jumat.
Hartono Mardjono sebagaimana dikutip Republika tanggal 3 Januari 1997 mengatakan bahwa rekrutan perwira Kopassus sangat diskriminatif terhadap yang beragama Islam. Misalnya kalau direkrut 20 orang, 18 di antaranya adalah perwira beragama non Islam dan dua dari Islam. Penelitian Salim Said juga menemukan hal yang sama bahwa perwira yang menonjol keislamannya, diperlakukan diskriminatif dan tidak mendapat kesempatan sekolah karena dianggap fanatik, singkatnya karirnya pasti suram.
Perhatikan perwira tinggi yang menduduki pos penting ketika Benny Moerdani berkuasa: Sintong Panjaitan; Try Sutrisno; Wiranto; TB Silalahi; TB Hasanuddin; R.S. Warouw; Albert Paruntu; AM Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Susilo Bambang Yudhoyono; Luhut Panjaitan; Ryamizard Ryacudu; Johny Lumintang; Tyasno Sudarto; Albert Inkiriwang; HBL Mantiri; Fachrul Razi; Adolf Rajagukguk; Theo Syafei; Soebagyo HS dll.
Maka terlihat pola tidak terbantahkan bahwa perwira tinggi pada masa kekuasaan Benny Moerdani adalah non Islam atau Islam abangan (“non-fanatik” atau “non-Islam santri” menurut versi Benny). “Berbeda dengan panglima-panglima sebelum dan sesudahnya, Benny memang memelihara sejumlah orang yang disenanginya. “Mereka itu semacam golden boys Benny Moerdani,” kata Schwarz. Salah satu yang dikenal sebagai “anak emas” itu adalah Luhut Binsar Panjaitan.”(Salim Said, hal. 343)
Jusuf Wanandi, sahabat baik Benny Moerdani menyebut: “But, maybe Benny’s biggest enemesis was Soeharto son-in-law, Prabowo Subianto.” (Shades of Grey, hal. 240) “…Saya menganggap lawan utama Benny adalah Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto.” (Menyibak Tabir Orde Baru, hal. 327).
*Rivalitas Mayor Prabowo dan Jenderal Benny Moerdani*
Karena sudah merasa kuat, para kader penerus perjuangan Pater Beek mulai berani terang-terangan menjalankan gerakan de-islamisasi di tubuh militer. Diceritakan pada suatu ketika Jenderal Moerdani menyampaikan rencana jahat untuk menghancurkan gerakan Islam secara sistematis kepada Mayor Prabowo yang dianggapnya sebagai bawahan dan sahabat setianya itu.
Menurut sahabat dekat Prabowo, Kivlan Zen, bahwa pertemuan mulai terjadi saat Prabowo menjadi Staf Khusus Menhankam /Pangab Jenderal LB Moerdani (1982-1985). Urusannya keterkaitan dengan ideologi dan agama. Sebagai staf khusus Mayor Prabowo Subianto mendapat penjelasan rencana menghancurkan gerakan-gerakan Islam secara sistematis.
Moerdani menduga akan mendapatkan dukungan putra dari pasangan Prof. Soemitro Djojohadikusumo yang sosialis dan ibunya yang beragama Kristen. Di hadapan Jenderal ini, Prabowo tak banyak merespons ide gila itu. Namun diam-diam Prabowo melaporkan langkah-langkah Benny Moerdani kepada Presiden Soeharto sebagai Panglima Tertinggi ABRI yang juga sudah menjadi mertuanya.
Tentu saja tidak serta merta Pak Harto percaya dengan laporan itu. Ia mencari informasi lanjutannya sendiri, dan akhirnya ia mempercayainya. Kejadian ini menyebabkan Jenderal Benny Moerdani marah kepada Prabowo. Sang jenderal mengeluarkan Prabowo dari Kopassus, menyingkirkannya menjadi Kepala Staf Kodim (Kasdim). Padahal saat itu Mayor Prabowo adalah Wakil Komandan Detasemen 81, pasukan elit dari Kopassus spesial anti-teror, yang dibentuk bersama dengan Letkol Luhut Panjaitan.
Peristiwa pembantaian umat Islam di Tanjung Priok tahun 1984 tentu juga mempengaruhi hubungan baik Prabowo dan Moerdani kala itu. Prabowo melihat bahwa apa yang direncanakan Moerdani dengan para geng kader Pater Beek untuk menjadikan umat Islam sebagai musuh negara menjadi kenyataan. Dengan alasan penerapan asas tunggal Pancasila, umat Islam dipaksakan bermusuhan dengan pemerintah, yang berujung dengan penangkapan para tokoh Islam sampai pembantaian sadis.
Umat Islam dipancing dengan berbagai operasi intelejen untuk melawan pemerintah. Pada waktu bersamaan para think thank di CSIS membuat perencanaan matang bagaimana pemerintahan berjalan sesuai dengan perencanaan de-islamisasi warisan pemikiran Pater Beek. Presiden Soeharto diberikan berbagai nasihat miring sehingga berhasil dicitrakan sebagai pemimpin yang sangat anti Islam.
Jurnalis Australia, David Jenkins secara gamblang menyebutkan ketidaksukaan Soeharto dengan Islam lewat wawancara khususnya dengan mantan Panglima Teritorium IV/Diponegoro tersebut. Jelang Pemilu 1977 Soeharto menerima IJ Kasimo, Frans Seda, dan beberapa orang lain. Sebelum para tamu duduk, dia berujar. “Musuh kita bersama ialah Islam,” kata Soeharto ditulis Jenkins dalam buku Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983(hal 35).
Tentu sebagai seorang perwira menengah yang cerdas dan berwawasan luas serta memiliki jiwa patriotisme, Prabowo tergugah atas penderitaan umat Islam sebagai kelompok mayoritas. Kesadarannya terpanggil, hati nuraninya menjerit dan menimbulkan ledakan spiritual sebagaimana telah dialami para tokoh besar kemanusiaan, baik para Nabi ataupun pemimpin besar dunia. Prabowo tengah menyaksikan ketidakadilan geng Moerdani yang sangat berambisi meringkus umat Islam.
Sejak tahun 1985 itu permusuhan Prabowo dengan Moerdani terus membara. Prabowo sangat curiga terhadap langkah-langkah yang diambil Benny Moerdani. Prabowo memberikan keyakinan kepada kolega pendukungnya untuk hati-hati terhadap LB Moerdani. Membangun gerakan bersama koleganya sesama perwira menengah yang pro-Islam seperti Mayor Kivlan Zein, Mayor Ismed Yuzairi, Mayor Safrie Syamsuddin dan Mayor Glen Kairupan dan lainnya.
Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen mengatakan, ABRI Hijau adalah julukan untuk tentara yang berasal dari subkultur Islam dan dekat dengan kalangan tokoh-tokoh Islam seperti ulama, kiai, dan pimpinan ormas Islam. Sebaliknya, muncul pula istilah ABRI Merah Putih. Ini julukan untuk kelompok tentara yang dianggap nasionalis dan tidak membawa bendera agama. Masuk dalam golongan ini yaitu Benny Moerdani dan selanjutnya Edi Sudrajat.
Rivalitas ABRI Hijau dan ABRI Merah Putih telah mencuat pada 1990. Bukan sekedar berebut pengaruh pada Soeharto, namun perseteruan internal ini juga berujung pada karier militer mereka. Benny Moerdani sebagai pemeluk Katolik dan dianggap memiliki andil besar dalam menghabisi gerakan Islam menyingkirkan para ABRI Hijau dari pusaran inti TNI. Mereka dikotak dan dipinggirkan. “Tokoh-tokoh militer yang terafiliasi dengan organisasi Islam terkendala untuk menduduki posisi strategis di tubuh TNI. Feisal Tanjung dan R Hartono, misalnya. Keduanya dari keluarga santri.” Imbuh Kivlan.
Dalam melancarkan gerakannya, Prabowo mempromosikan perwira tinggi yang dekat dengan Islam untuk jabatan yang lebih tinggi menggantikan pengikut Jenderal LB Moerdani. Ini pula yang membuat Luhut Panjaitan ikut “bermusuhan” dengan Prabowo. Bersamaan dengan itu, Jenderal LB Moerdani mempersiapkan penggantinya berturut-turut dari Letjen Sahala Rajagukguk, Mayjen Sintong Panjaitan, Brigjen Theo Sjafe’i, Kolonel Luhut Panjaitan dan Letkol RR Simbolon.
Prabowo bersama sahabatnya mulai melakukan berbagai usaha agar kemesraan pak Harto dengan umat Islam makin terjalin. Karena pada saat itu banyak yang menuduh beliau anti Islam, sebagaimana dinyatakan Moerdani. “Kok saya yang dituduh anti-Islam. Soeharto itu yang anti-Islam,” kata Benny menjawab pertanyaan jurnalis kawakan Salim Said. Ucapan keras jenderal Kopassus asal Blora itu tertuang dalam buku Salim bertajuk Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (hal 116)
Salah satu cara untuk mendekatkan Pak Harto dengan kelompok Muslim, yaitu dengan didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember 1990. Menurut Greg Barton, lima tahun sebelumnya tidak terbayang organisasi semacam ICMI dapat muncul. Dalam bulan-bulan sebelum organisasi ini resmi diluncurkan, Soeharto secara jelas telah mengutarakan niatnya untuk menyeponsori ICMI yang sejak kelahirannya menjadi sangat dekat dengan Golkar-nya Soeharto.
Indonesianis asal Amerika Serikat, R William Liddle berpandangan, ICMI didirikan bukan hanya untuk kooptasi oposisi yang potensial menentang Soeharto, termasuk para jenderal militer yang bermanuver melawan. ICMI juga sebuah alat untuk merayu kelompok-kelompok Islam tertentu untuk berpihak pada mantan Pangkostrad itu sebelum Pemilu 1992 dan Pemilihan Presiden 1993.
“Karena alasan inilah dikepalai BJ Habibie, orang dekat Soeharto. Dari pendirian ICMI, Soeharto menjamin organisasi ini di bawah control staf Habibie,” kata Liddle dalam Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia dikutip Benyamin Fleming Intan di buku Agama Publik di Bumi Pancasila (hal 100).
Pelan tapi pasti, gerakan Prabowo terlibat aktif dalam memasukkan perwira muslim untuk menggantikan kader-kader LB Moerdani di tubuh petinggi ABRI. Faksi Prabowo memperkenalkan Mayjen Feisal Tanjung ke Pa Harto. Dan pada 9 Juni 1992, Mayjen Feisal Tanjung diangkat menjadi Kasum ABRI dengan pangkat Letjen.
Menjelang Sidang Umum MPR 1993, Prabowo mendukung tokoh ICMI, B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden, sesuai hasil pemilihan oleh Panitia 11 yang dibentuk oleh Pak Harto.
Namun perjuangan Prabowo untuk menempatkan tokoh Muslim sebagai pendamping Pak Harto tidak semulus yang direncanakan. Karena saat itu beredar isu bahwa Wakil Presiden akan menjadi Presiden selanjutnya. Fraksi ABRI di MPR memiliki pandangan yang berbeda. Setelah diadakan lobi-lobi, Pak Harto menyetujui pak Try menjadi Wapres, sementara Edi Sudrajat ditunjuk sebagai Pangab merangkap Menhankam dan KASAD pada 12 Maret 1993.
Pada 21 Mei 1993, Pak Harto mengangkat Letjen Feisal Tanjung sebagai Panglima ABRI. Tentu hal ini menjadi sangat mengejutkan, sekaligus menggembirakan bagi Prabowo. Kini puncak perjuangannya mengislamkan ABRI telah menjadi kenyataan. Ia melihat Jenderal Feisal Tanjung dapat mendukungnya dalam rangka pembersihan pendukung LB Moerdani yang mulai menunjukkan kekuatan untuk menjatuhkan Pak Harto dengan berbagai cara.
Begitu Feisal Tanjung diangkat menjadi Pangab, Mayjen Hartono diangkat menjadi Gubernur Lemhanas, sebuah jabatan bintang tiga. Kemudian, pada 1994 ia menggantikan Letjen Haryoto PS sebagai Kasosspol ABRI. Pada 1995, Hartono naik lagi menjadi KSAD, dengan Panglima ABRI Feisal Tanjung maka dua perwira tinggi ABRI yang dekat dengan kalangan Islam pada pucuk pimpinan ABRI. Dua jenderal itu mendapat julukan duet jenderal santri. Telah lahir
*”Brigade Jenderal Pembela Islam”*
Bersamaan dengan naiknya Jenderal Feisal dan Jenderal Hartono, dibentuklah sebuah lembaga think thank, CPDS (Center for Policy and Development Studies) atas prakarsa beberapa perwira antara lain Letkol Prabowo Subianto, Letkol Syamsul Maarif, Letkol Adityawarman Thaha, Letkol Kivlan Zen, dan dari kalangan intelektual sipil seperti Din Syamsuddin, Amir Santoso, Jimly Asshidiqie, serta beberapa intelektual muda lainnya.
Lembaga ini dibentuk dengan maksud memberikan masukan-masukan sosial-politik, ekonomi, dan budaya kepada Mabes ABRI/TNI-AD dan pemerintah. Lembaga ini juga dimaksudkan menjadi media dialog antara sipil dan militer dan diharapkan menjadi alternatif lain dari CSIS yang merupakan think thank Orde Baru sejak 1971. Sekaligus untuk memperkuat gerakan Islamisasi ICMI maupun CIDES yang dipimpin tokoh LSM Adi Sasono yang telah menjadi tangan kanan BJ. Habibie.
Pada 1997, Jenderal Hartono digantikan Jenderal Wiranto dan Maret 1998 Feisal Tanjung juga digantikan Wiranto. Sementara itu, KSAD yang dijabat Subagyo HS dan Pangkostrad dijabat Letjen Prabowo Subianto. Sejak itu, tentara dipimpin oleh mereka yang disebut sebagai “ABRI hijau” alias *Jenderal Pembela Islam* atau kalangan santri yang sangat dekat dengan umat Islam.
Firdaus Syam dan Ahmad Suhelmi dalam “Ahmad Sumargono: Dai & Aktivis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Ummat” mengungkap pada saat itu hubungan ABRI dengan kalangan Islam eks-Masyumi, termasuk dengan KISDI, menjadi mesra.
Sumargono memiliki kedekatan khusus dengan Letjen (TNI) Prabowo Subianto, Letjen Hendropriyono, Jenderal Subagio HS, Mayjen Muchdi PR, Mayjen Syafrie Syamsuddin dan Mayjen Kivlan Zen. Mereka disebut sebagai perwira santri. Empat nama terakhir adalah alumni Pelajar Islam Indonesia (PII) yang secara historis dan kultural orientasi Islam politiknya “berkiblat” kepada Masyumi.
*Tidak pernah terjadi dalam sejarah, hubungan Islam dan negara selama ini di mana Markas Kopassus di Cijantung itu dibanjiri umat Islam seperti ketika Kopassus dipimpin Mayjen Prabowo Subianto. Tanpa sungkan, Prabowo menunjukkan keberpihakannya kepada Islam. Dalam kesempatan pertemuan di Mako Kopassus – di hadapan massa Islam – Prabowo bahkan bertakbir berkali-kali.*
Sumargono menjelaskan, Prabowo memang banyak memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh Islam termasuk tokoh eks-Masyumi seperti Anwar Haryono dan dirinya. Sebagai sahabat, Sumargono pernah memberikan nasihat kepada Prabowo untuk tidak ragu berpihak kepada umat Islam, sekalipun di kalangan Islam masih terdapat keraguan tentang komitmen Prabowo terhadap Islam.
Salah seorang terdekat Habibie, Adi Sasono Direktur CIDES dan kemudian menjadi Sekjen ICMI, pada tahun 1994an menyatakan di Malaysia kepada Penulis tentang perjuangan ICMI. Di masa depan ICMI akan menjadi kekuatan politik non partai, yang akan menjadi penghubung umat Islam, sekaligus gerakan yang akan meningkatkan peranan umat Islam dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai kelompok mayoritas bangsa Indonesia, sudah saatnya umat Islam menjadi penentu kebijakan pemerintah. Persis sebagaimana diperjuangkan Prabowo.
Salah seorang sahabat seperjuangan Prabowo, Jenderal Djoko Santoso yang juga pernah menjadi Ketua Badan Pemenangan Pusat (BPN) Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 pernah menceritakan kepada Penulis. Bagaimana herois dan patriotisnya perjuangan Prabowo dalam membela kepentingan umat Islam pada era kepemimpinan LB Moerdani. Dengan kecerdasan dan keberaniannya, Prabowo mendobrak ketidakadilan Moerdani dan konco-konconya. Sehingga program de-islamisasi kelompok Pater Beek ini gagal, dan menampilkan para Jenderal yang dekat dengan umat Islam.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa gerakan Islamisasi yang dilancarkan Prabowo sejak 1985 telah berhasil mendekatkan militer dan Pak Harto dengan umat Islam. Dan sekaligus berhasil menyingkirkan perjuangan Pater Beek dan para kadernya, termasuk CSIS yang sudah bercokol sejak awal berdirinya Orde Baru. Sampai di sini, Prabowo telah tampil menjadi salah seorang tokoh patriotik yang membela kepentingan umat Islam mayoritas namun dicitrakan sebagai musuh Negara.
Menjelang Pemilu 1997, hubungan baik antara Sang Jenderal Pembela Islam, Letjen Prabowo Subianto dengan para tokoh Islam, terutama BJ. Habibie yang dikenal sebagai seorang teknokrat Muslim dunia telah menguntungkan posisi strategis Pak Harto, Golkar dan militer santri. Habibie telah menjadi seorang politisi sekaligus memimpin ICMI yang berhasil menjembatani persatuan umat Islam. Melalui ICMI, hampir semua kelompok Islam dapat dipersatukan, baik yang tradisionalis maupun yang modernis. Kehadiran Habibie dan ICMI telah memenangkan Golkar secara mutlak dalam pemilu 1997.
Cita-cita Jenderal Prabowo yang ingin menjadikan Habibie sebagai Wakil Presiden mendapat dukungan luas umat Islam dan direstui Pak Harto. Maka pada sidang umum MPR/DPR tahun 1998 telah diputuskan bahwa Presiden dijabat kembali oleh Soeharto, sedangkan Wakil Presiden oleh BJ. Habibie. Tentu orang yang paling berbahagia dengan peristiwa ini adalah Prabowo yang telah menjabat sebagai Pangkostrad dengan pangkat Letjen.
*Serangan Balik Kader Pater Beek dan Benny Moerdani*
Pemerintahan pro Islam Soeharto-Habibie yang menjadi cita-cita perjuangan Prabowo ternyata tidak berlangsung lama. Timbul demontrasi demi demontrasi sampai kerusuhan yang anehnya meminta Soeharto diturunkan dengan berbagai tuntutan yang menyertainya. Tidak perlu analisis mendalam untuk menyimpulkan siapa dibalik gerakan makar 1998 ini. Dapat dipastikan bukan orangnya Soeharto atau orangnya Habibie, apalagi orangnya Prabowo. Kenyataan fakta sejarah, ternyata ketiga pelaku utama Islamisasi ini telah diadu domba satu sama lain untuk melumpuhkannya.
Dari beberapa fakta lapangan, kerusuhan yang terjadi tidak diragukan pasti digerakkan oleh mereka yang kontra dengan gerakan Islamisasi yang dilakukan Prabowo selama ini. Gerakan yang telah mendekatkan Soeharto dengan umat Islam atau gerakan Islamisasi Habibie dengan ICMI. Buat apa Soeharto dijatuhkan jika dia sudah menjadi bagian dari gerakan umat Islam. Maka logikanya yang menggerakkan pasti kelompok yang dirugikan oleh persatuan umat Islam dengan Soeharto dan Prabowo. Ketiga aktor utama Islamisasi ini perlu dipecah dan diadu domba.
Setelah pelantikan Soeharto-Habibie pada sidang MPR 11 Maret 1998, maka mulailah terjadi gerakan demi gerakan yang disponsori oleh mereka yang anti kepada gerakan Islamisasi trio Soeharto, Habibie dan Prabowo. Dengan gerakan yang rapi, tersistematis, dana besar, dukungan internasional, jaringan luas dan terpenting mendapat dukungan minoritas militer yang dicurigai sebagai sisa-sisa gerakan kader Pater Beek dan Moerdani.
Fakta ini diketahui dari ucapan Moerdani mengenai Soeharto yang menurutnya ‘Sudah tua, bahkan sudah pikun, sehingga tidak bisa lagi mengambil keputusan yang baik. Karena itu sudah waktunya diganti’…..Benny kemudian berbicara mengenai gerakan massa sebagai jalan untuk menurunkan Soeharto. Firdaus menanggapi, ‘Kalau menggunakan massa, yang pertama dikejar adalah orang Cina dan kemudian kemudian gereja.’ ” (Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, Penerbit Mizan, hal. 316)
Pembicaraan ini adalah bukti paling kuat yang menghubungkan Benny Moerdani dengan berbagai kerusuhan massa yang sangat marak menjelang akhir Orde Baru karena membuka informasi adanya pemikiran Benny Moerdani untuk menjatuhkan Soeharto melalui gerakan massa yang berpotensi mengejar orang Cina dan orang Kristen. Kesaksian Salim Said ini merupakan titik tolak paling penting guna membongkar berbagai kerusuhan yang belum terungkap seperti Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998.
Demikian pula munculnya pola kerusuhan dalam waktu serentak merupakan sejarah baru dalam kerusuhan Indonesia. Pola ini menimbulkan dugaan adanya provokator yang terlibat secara terencana. Gerakan ini ditengarai sudah dipersiapkan secara matang oleh sponsor gerakan yang sangat berpengalaman dalam merancang kerusuhan masal. Secara khusus, pada kerusuhan 13-15 Mei 1998, etnis Tionghoa menjadi sasaran perampokan, penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Tentu hal ini akan menjadikan kelompok mayoritas umat Islam sebagai tertuduh.
Gerakan ini juga dibumbui dengan mengangkat isu-isu seperti pelanggaran HAM, penculikan para aktivis, dan operasi militer di Aceh, Irian Jaya, dan Timor-Timur. Amerika Serikat berharap sistem ekonomi dan politik Indonesia lebih transparan dan efisien. Dalam konteks ini Soeharto dipandang sebagai hambatan karena cenderung memproteksi keluarga dan orang-orang terdekatnya secara berlebihan (Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Orde Baru, 2015).
Dari pola gerakan yang dikembangkan, maka jelas inti gerakan ini adalah untuk menjatuhkan Soeharto dengan berbagai tuduhan. Untuk menjatuhkan Soeharto, maka isu kudeta kaum reformis Islamis, yang dipimpin duet Habibie-Prabowo dihembuskan kepada Soeharto. Tentu isu ini akan mendapat banyak dukungan cendekiawan reformis yang dipimpin Amien Rais, dan tentunya Gus Dur dan Megawati. Sementara para pemimpin ICMI juga mendukung lengsernya Soeharto dan agar diganti dengan Habibie.
Analisis ini kita mulai dari fakta tidak terbantahkan bahwa tidak ada tentara selama kerusuhan tanggal 13 dan 14 Mei 1998. Bila pun ada, mereka hanya menyaksikan para perusuh menjarah dan membakar. Padahal bila saja dari awal para tentara tersebut bertindak tegas maka dapat dipastikan akan meminimalisir korban materi dan jiwa. Pertanyaannya apakah hilangnya negara pada kerusuhan Mei disengaja atau tidak?
Fakta lain yang tidak terbantahkan adalah Kepala BIA yaitu Zacky Anwar Makarim memberi pengakuan kepada TGPF bahwa ABRI telah memperoleh informasi akan terjadi kerusuhan Mei. Namun ketika ditanya bila sudah tahu mengapa kerusuhan masih terjadi, Zacky menjawab tugas selanjutnya bukan tanggung jawab BIA. Jadi siapa “user” BIA? Tentu saja Panglima ABRI, yang dijabat oleh Jenderal Wiranto.
Justru yang menjadi pertanyaan kemudian, kenapa Wiranto berperilaku aneh, seperti menghindari masalah yang akan terjadi atau membiarkannya. Sebab Jakarta rusuh pada tanggal 13 Mei 1998 dan pada tanggal 14 Mei 1998 dia membawa KSAD, Danjen Kopassus, Pangkostrad, KSAU, KSAL ke Malang untuk mengikuti upacara serah terima jabatan sampai jam 1.30 di mana sekembalinya ke Jakarta, kota ini sudah kembali terbakar hebat.
Keanehan Wiranto juga tampak ketika malam tanggal 12 Mei 1998 dia menolak usul jam malam dari Syamsul Djalal. Namun dia membenarkan keputusan Kasum Letjend Fahrul Razi menolak penambahan pasukan untuk Kodam Jaya dengan alasan sudah cukup. Wiranto juga menolak permintaan Pangkostrad Prabowo untuk mendatangkan pasukan dari Karawang, Cilodong, Makasar dan Malang dengan cara tidak mau memberi bantuan pesawat Hercules. Pencopotan KSAL Arief Kusharyadi atas inisiatifnya menurunkan pasukannya ke Jakarta untuk mencegah meluasnya kerusuhan oleh Wiranto, menambah keanehan yang ada.
Keanehan-keanehan ini menjadi fakta kuat bahwa Wiranto ditengarai sengaja membiarkan kerusuhan terjadi. Kenapa demikian? Tentu saja jawabannya karena dia memiliki hubungan dengan Benny Moerdani. Fakta ini diperkuat, bahwa setelah Soeharto lengser, Wiranto bekerja sama dengan Benny Moerdani antara lain dengan melakukan reposisi terhadap 100 perwira ABRI yang dipandang sebagai “ABRI Hijau” dan diganti dengan perwira-perwira yang dipandang sebagai “ABRI Merah Putih.”
Bukti yang tidak terbantahkan adalah Ketika Wiranto menunjuk Johni Lumintang yang dikenal sebagai kelompok Moerdani sebagai pengganti Pangkostrad Prabowo. Padahal banyak calon lainnya yang lebih layak. Akhirnya atas desakan pimpinan ICMI kepada Presiden Habibie, setelah 17 jam, Johni diganti oleh Letjen Djamari Chaniago.
Fakta ini diperkuat juga oleh pernyataan Habibie dalam bukunya Detik-detik yang Menentukan. Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006). Habibie menulis kenapa dia secepatnya memecat Prabowo, karena Wiranto telah membisikkannya.
Bisikan yang dimaksud adalah informasi yang menyebutkan bahwa ada gerakan pasukan Kostrad ke arah Istana Merdeka. Beberapa dari pasukan Kostrad tersebut bahkan disebut-sebut sudah terlihat berada di sekitar kediaman Habibie. Gerakan tersebut disebut-sebut mengarah pada rencana untuk mengudeta Habibie yang baru saja dilantik.
Padahal cerita sebenarnya menurut Kivlan, pada tanggal 21 Mei 1998 malam, Kivlan bertemu Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto yang bertanya mengapa bukan Subagyo yang menjadi Panglima ABRI, lha kok masih Wiranto. “Yang bisa ngomong ke Habibie soal ini hanya satu, Pak Nas (AH Nasution-Red),” ujar Kivlan. Maka pada 22 Mei, Kivlan bertemu Pak Nas dan meminta untuk menulis dan dia akan menandatangani surat itu yang berbunyi, “Ananda Habibie, keadaan semakin genting belum bisa diatasi. Wiranto panglima ABRI belum bisa mengatasi ini dari 12-22 Mei 1998. Ada baiknya diangkat orang lain menjadi panglima, ada baiknya adalah Subagyo dan sebagai KSAD adalah Prabowo.”
Fakta ini diperkuat ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo. Dalam buku berjudul ‘Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, Sumitro Djojohadikusumo’. Sumitro mengisahkan sulitnya posisi Prabowo di akhir era kepemimpinan Presiden Soeharto. Sumitro mengisahkan Soeharto memendam prasangka buruk bahwa Prabowo bersama BJ Habibie bersekongkol untuk menumbangkannya. Ada perwira ABRI yang cemburu terhadap melejitnya karier Letjen Prabowo, salah satu disebutkan Sumitro, adalah Pangab Jenderal Wiranto.
Sumitro menyebut Wiranto tak menyia-nyiakan peluang untuk menghempaskan Prabowo. Dalam buku tersebut dituliskan bahwa sekitar 21 Mei 1998 Wiranto mengeluh kepada Soeharto mengenai pergerakan Prabowo. Mendengar keluhan itu, Soeharto pun menginstruksikan agar Prabowo dicopot dari Kostrad. Namun pada akhirnya Habibie-lah yang mencopot Prabowo dari Pangkostrad.
Letjen (Purn) Sintong Panjaitan dalam biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit: Para Komando, menceritakan peristiwa bisikan Wiranto kepada Habibie. Menurut Sintong yang saat itu menjadi penasihat Habibie, kehadiran pasukan Kostrad dari luar Jakarta perlu dicek. Namun Habibie langsung mempercayainya. “BJ Habibie percaya kepada Wiranto yang dianggapnya sebagai orang jujur,” tulis Sintong.
Jusuf Wanandi dalam memoarnya menulis bahwa ketika Presiden Soeharto berhasil menetralisir pengaruh Try Soetrisno dengan menempatkan Feisal Tanjung dan Prabowo Subianto dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan geng Benny Moerdani, maka mereka menempatkan semua harapan kepada Wiranto. Selain itu setelah dilantik sebagai Panglima ABRI, diketahui Wiranto menghadap Benny Moerdani dan meminta bertemu setiap bulan.
Tanggapan Benny menurut Jusuf Wanandi dan Salim Said adalah: “Jangan berilusi, orang tua itu [Soeharto] tidak menyukai saya, tidak percaya kepada saya. Anda harus tetap di sana karena Anda satu-satunya yang kita miliki. Jangan membuat kesalahan karena kariermu akan selesai jika Soeharto tahu Anda dekat dengan saya.” (Menyibak Tabir Orde Baru, hal. 365-366; Salim Said, hal. 320)
Wiranto memang membantah memiliki hubungan dekat dengan Benny. Namun ada beberapa fakta yang memperkuat. Diantaranya dalam memoarnya, Jusuf Wanandi bercerita pasca jatuhnya Soeharto, Wiranto menerima dari Benny daftar perwira yang dinilai sebagai “ABRI Hijau”, dan dalam sebulan semua orang dalam daftar nama tersebut disingkirkan Wiranto. Ketika dikonfrontir mengenai hal ini, Wiranto mengatakan cerita “daftar nama” adalah bohong, namun bila kita lihat kembali masa-masa setelah Soeharto jatuh maka faktanya banyak perwira “hijau” yang dimutasi Wiranto.
Akhirnya kita akan bertanya, apakah Wiranto bener anak buah Benny Moerdani atau hanya petualang kekuasaan yang mengambil kesempatan? Tentu sejarah yang akan menjawabnya kelak. Bahwa fakta yang sulit terbantahkan, memang Wiranto, secara sadar atau tidak, telah dimanfaatkan menjadi senjata pamungkas kader Pater Beek dan Moerdani dalam mengubur cita-cita Islamisasi yang digerakkan Prabowo dan Habibie.
Setelah perjuangan panjang dalam membela kepentingan mayoritas umat Islam dengan segala suka dukanya, Sang Jenderal Pembela Islam, Letjen Prabowo Subianto harus menerima kenyataan pahit keluar dari militer. Untuk strategi perjuangan, dirinyapun harus mengalah sementara untuk bangkit kembali menyusun strategi perjuangan baru. Prabowo memilih bumi para Aulia di Yordania tempat sahabatnya Raja Abdullah untuk mencari pencerahan dan kebangkitan kembali.*** (bersambung)
Ditulis kembali dari data lama;
Jakarta, 1 Januari 2025